Pendahuluan
Pendidikan berarti menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak,
sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh pembandingan dengan penciptaan yang
lain. Pendidikan sebagai penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang
tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual, moral yang menjadi tanggung
jawab pendidik untuk mendorong indivividu tersebut (Piaget dalam Sagala,
2006:1).
Pendidikan adalah segala situasi hidup
yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit
pendidikan adalah pelajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal (Sagala, 2006:1).
Pendidikan juga dapat dimaknai sebagai
proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu
hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar
dimana individu itu berada.
Pendidikan memberikan pengertian dalam
arti dapat memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku anak, dapat menempatkan
diri dalam situasi anak dan melihat dari sudut pandang anak. Dalam suasana ini
anak akan merasa aman untuk mengungkapkan bakatnya (Sunarto dan Hartono, 2005:125).
Didalam pendidikan terdapat hubungan
sosial yang berupa hubungan timbal balik antara peserta didik dan guru, yaitu
proses dimana pendidik memberikan informasi kepada peserta didik, dan
sebaliknya seorang pendidik juga bias mendapatkan informasi dari peserta
didiknya yang terjadi dalam proses pembelajaran.
Kehidupan anak dalam menelusuri
perkembangannya itu pada dasarnya merupakan kemampuan mereka berinteraksi
dengan lingkungan. Pada Proses integrasi dan interaksi ini faktor intelektual dan emosional mengambil peranan
penting. Proses tersebut merupakan proses sosialisasi yang mendudukkan
anak-anak sebagai insan yang secara aktif melakukan proses sosialisasi (Sunarto
dan Hartono, 2005:126).
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat
hidup sendiri, manusia senantiasa berhubungan dengan sesama manusia, artinya
manusia membutuhkan manusia yang lain untuk dapat hidup, maka dari itu manusia
disebut juga sebagai makhluk sosial. Dimana lingkungan tersebut terbagi menjadi
lingkungan fisik dan lingkungan sosial, dalam hal ini lingkungan sosial sangat
berpegaruh penting dalam perkembangan manusia itu sendiri.
Bersosialisasi pada dasarnya merupakan
proses penyesuaian diri terhadap lingkungan kehidupan sosial, bagaimana
seharusnya seseorang hidup didaam kelompoknya, baik dalam kelompok kecil maupun
kelompok masyarakat luas (Sunarto dan Hartono, 2005:126).
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang bagaimana pandangan sosiologi
terhadap peserta didik.
Pandangan Sosiologi terhadap Peserta
Didik
Menurut Pidarta dalam Kadir, dkk (2012:99),
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Jadi sosiologi mempelajari bagaimana
manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompokknya dan bagaimana
susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu
dengan yang lain (Kadir, dkk,. 2012:99).
Menurut Kadir, dkk (2012:100), Pendidikan
yang diinginkan oleh aliran kemasyarakatan ini ialah proses pendidikan yang
bias mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia.
Sosiologi sangat dibutuhkan dalam mewujudkan cita-cita pendidikan, melalui
konsep dan teori sosiologi tentang bagaimana seharusnya para guru dapat membina
para peserta didik agar peserta didik bias memiliki kebiasaan hidup yang
harmonis, bersahabat dan akrab dengan sesama peserta didik lainnya.
Peserta didik adalah manusia yang
identitas insaninya sebagai subjek berkesadaran perlu dibela dan ditegakkan
lewat sistem dan model pendidikan yang bersifat bebas dan egaliter
(Budiningsih, 2004:5).
Manusia adalah makhluk yang dapat
dipandang dari berbagai sudut pandang, sebagaiman dikenal adanya manusia
sebagai makhluk yang berpikir atau homo
sapiens, makhluk yang berbentuk homo
faber, makhluk yang dapat dididik atau homo
educatunum dan lain sebagainya.
Kini bangsa Indonesia telah menganut
suatu pandangan, bahwa yang dimaksud manusia secara utuh adalah manusia sebagai
pribadi yang merupakan pengejawantahan manunggal-nya berbagai ciri atau
karakter hakiki atau sifat kodrati manusia yang seimbang antar berbagai segi,
yaitu antara segi individu dan sosial, jasmani dan rohani, dan dunia dan
akhirat (Sunarto dan Hartono, 2005:2).
Seimbangya hubungan-hubungan tersebut
mendeskripsikan selarasnya hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri,
manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan lingkungan alamnya, dan manusia
dengan Sang Pencipta.
Manusia pada dasarnya sebagai makhluk
individu yang tidak dapat dipisahkan, keberadaannya sebgai makhluk yang pilah,
tunggal, dank has. Seseorang berbeda dengan orang lain karena ciri-cirinya yang
khusus itu (Webster’s dalam Sunarto dan Hartono, 2005:2).
Kedudukan manusia sebagai peserta didik,
seyogyanya ditempatkan sebagai pribadi yang utuh. Hal ini berkaitan dengan
kepentingan pendidikan, akan lebih ditekankan pada hakikat manusia sebagai
kesatuan sifat makhluk individu dan makhlu sosial, sebagai kesatuan jasmani dan
rohani, dan sebagai makhluk Tuhan dengan menempatkan hidupnya di dunia sebagai
persiapan kehidupannya di akhirat.
Maka dapat dibentuk suatu lingkungan
untuk anak yang dapat merangsang perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya
dan akan membawa perubahan-perubahan apa saja yang diinginkan dalam kebiasaan
dan sikap-sikapnya (Sunarto dan Hartono, 2005:3). Dalam hal ini anak dibantu
oleh guru, orang tua, dan orang-orang dewasa lainnya untuk memanfaatkan
kapasitas dan potensi yang dibawanya agar pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan
dapat tercapai.
Interaksi seseorang dengan manusia
lainnya berawal ketika bayi dilahirkan dengan cara yang sangat sederhana.
Sepanjang kehidupannya pola aktivitas sosial anak mulai terbentuk. Menurut
Piaget dalam Sunarto dan Hartono (2005:127), interaksi sosial anak pada tahun
pertama sangat terbatas, terutama hanya dengan ibunya. Perilaku sosial anak
tersebut berpusat pada akunya atau egocentric
dan hamper keseluruhan perilakunya berpusat pada dirinya.
Bayi belum banyak memperhatikan
lingkungannya, dengan demikian apabila kebutuhan dirinya telah terpenuhi maka
bayi tersebut tidak akan peduli lagi dengan lingkungannya, sisa waktu hidupnya
digunakan untuk tidur. Pada tahun berikutnya, seorang anak sudah belajar kata
tidak dan sudah belajar menolak lingkungan, seperti mengatakan tidak mau dan
sebagainya.
Pada tahun ini, anak mulai bereaksi pada
lingkungan secara aktif, ia telah belajar membedakan dirinya dari orang lain,
perilaku emosionalnya mulai berkembang dan lebih berperan. Perkenalan dan
pergaulan dengan manusia lain semakin luas, ia mengenal orang tuanya, anggota
keluarganya, teman bermain yang sebaya dengannya dan teman-teman sekolahnya.
Pada usia selanjutnya, sejak seorang
anak mulai belajar disekolah, mereka mulai belajar mengembangkan interaksi
sosial dengan belajar menerima pandangan masyarakat, memahami tanggung jawab,
dan berbagai pengertian dengan orang lain. Artinya kebutuhan bergaul dan
berhubungan dengan orang lain telah mulai dirasakan sejak anak berumur enam
bulan, disaat anak itu mulai mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan
anggota keluarganya.
Anak
mulai mengenal dan mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial yang lain,
seperti marah dan kasih saying. Dan pada akhirnya setiap orang menyadari bahwa
manusia itu saling membutuhkan. Artinya hubungan sosial merupakan hubungan
antar manusia yang saling membutuhkan.
Remaja adalah tingkat perkembangan anak
yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa (Sunarto dan Hartono, 2005:128).
Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah kompleks, interaksi sosial dan
pergaulannya sudah cukup luas. Dalam beradaptasi dengan lingkungannya, remaja
sudah mulai memperhatikan dan mengenal bermacam-macam norma dalam bergaul yang
berbeda dengan norma bergaul yang ada dalam lingkungan keluarganya.
Remaja akan menghadapi berbagai
lingkungan, yaitu mulai memahami norma bergaul dengan kelompok remaja,
anak-anak, dewasa dan orang tua. Pergaulan dengan lawan jenis pun merupakan hal
yang pendting namun cukup sulit, karena selain harus memperhatikan norma
pergaulan antar remaja juga harus memikirkan adanya kebutuhan dimasa depan
untuk memilih teman hidup.
Kehidupan sosial remaja ditandai oleh
fungsi intelektual dan emosional yang menonjol, artinya pada jenjang ini
seorang anak sudah dapat mengalami krisis identitas seperti yang diungkapkan
Erickson dalam Sunarto dan Hartono (2005:129). Dalam prosesnya pembentukkan
konsep diri anak terbentuk dari rasa percaya seorang anak terhadap keberadaan
dirinya sendiri dan rasa kepercayaan orang lain terhadap keberadaan dirinya.
Erickson dalam Sunarto dan Hartono
(2005:129) mengemukakan bahwa perkembangan anak sampai jenjang dewasa melalui
delapan tahap dan perkembangan remaja ini berada pada tahap keenam dan ketujuh,
yaitu masa anak ingin menemukan jati dirinya sesuai dengan atau berdasarkan
pada situasi kehidupan yang mereka alami. Dalam hal penemuan jati diri Erickson
berpendapat bahwa seseorang didorong oleh pengaruh sosiokultural.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Sosial
Sunarto dan Hartono (2005:129),
mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak yaitu
sebagai berikut.
1.
Keluarga
Keluarga adalah lingkungan yang pertama
memberi pengaruh kepada perkembangan sosial anak. Kondisi kehidupan keluarga
merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Artinya kehidupan
budaya seorang anak diawali dari kehidupan keluarganya karena proses mendidik
perkembangan pribadi seorang anak lebih ditentukan oleh lingkungan keluarga.
2. Kematangan
Kematangan fisik dan psikis sengat
diperlukan dalam bersosialisasi artinya dalam bersosialisasi fisik seseorang
telah dapat menjalankan fungsinya dengan baik serta dalam memberi dan menerima
pendapat memerlukan kematangan emosional dan intelektual.
3. Status Sosial dan Ekonomi
Masyarakat akan memandang anak, bukan
sebagai anak yang independen tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang utuh
dalam keluarga anak tersebut. Secara tidak langsung dalam pergaulan sosial
anak, masyarakat dan kelompoknya akan memperhitungkan norma yang berlaku dalam
keluarganya.
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi
anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang
normative, akan memberi warna kehidupansosial anak di dalam masyarakat dan
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Penanaman norma perilaku yang benar
secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang belajar di kelembagaan
pendidikan (sekolah). Etik pergaulan dan pendidikan moral diajarkan secara
terprogram dengan tujuan untuk membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
5. Kapasitas Mental: Emosi dan
Intelegensi
Kemampuan berpikir banyak mempengaruhi
segala hal, anak yang berintelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa secara
baik. Oleh karena itu kemampuan intelektual yang tinggi, kemampuan berbahasa
yang baik dan pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan
keberhasilan dalam perkembangan sosial anak.
Sikap saling pengertian dan kemampuan
memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hal ini
akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan intelektual yang
tinggi.
Pengaruh Perkembangan Sosial
terhadap Tingkah Laku
Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh ide-ide dari
teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain,
termasuk orang tuanya. Setiap pendapat orang lain dibandingkan dengan teori
yang diikuti atau diharapkan. Sikap kritis ini juga ditunjukkan dalam hal-hal
yang sudah umum baginya pada masa sebelumnya, sehingga tata cara, adat istiadat
yang berlaku di lingkungan keluarga sering terasa terjadi/ada pertentangan
dengan sikap kritis yang tampak pada perilakunya (Sunarto dan Hartono,
2005:133).
Situasi dimana kemampuan
mempermasalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana
yang semestinya menurut alam pikirannya merupakan kemampuan absraksi yang dapat
menimbulkan perasaan tidak puas atau putus asa.
Pengaruh egosentris yang masih terlihat
pada pikiran remaja (Sunarto dan Hartono, 2005:134):
1.
Cita-cita dan idealisme yang baik, terlalu menitikberatkan pikiran sendiri,
tanpa memikirkan akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis
yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
2. Kemampuan
berpikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam
penilaiannya. Masih sulit membedakan pokok perhatian orang lain daripada tujuan
perhatian diri sendiri. Pandangan dan penilaian diri sendiri dianggap sama
dengan pandangan orang lain mengenai dirinya.
Pencerminan sifat egois sering
menyebabkan kekakuan para remaja dalam cara berpikir maupun bertingkah laku.
Persoalan yang timbul pada masa remaja adalah banyak bertalian dengan perkembangan
fisik yang dirasakan mengganggu dirinya dalam bergaul, karena disangkanya orang
lain sepikiran dan ikut tidak puas mengenai penampilan dirinya (Sunarto dan
Hartono, 2005:134).
Hal ini tentu akan berdampak pada
gerak-geriknya yaitu adanya perasaan malu karena merasa selalu diamati oleh
orang lain yang menimbulkan sikap canggung. Bahka dalam proses beradaptasi yang
dilandasi oleh sifat egois dapat memunculkan reaksi yang lain seperti
berlebihan dalam menilai diri sendiri yang pada akhirnya menimbulkan perilaku
yang merasa hebat dan berani menantang malapetaka dan kegiatan-kegiatan yang
berbahaya bagi dirinya sendiri.
Menjelang akhir masa remaja maka sifat
ego ini akan semakin berkurang dikarenakan telah melalui banayk pengalaman dan
penghayatan fakta serta dalam berhadapan dengan pendapat orang lain, sehingga
seorang remaja pada akhirnya dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa
meremehkan pendapat dan pandangan orang tersebut.
Perbedaan Individual dalam
Perkembangan Sosial
Sesuai dengan teori komprehensif tentang perkembangan sosial
yang dikembangkan oleh Erickson, maka di dalam upaya memenuhi kebutuhan
hidupnya setiap manusia menempuh langkah yang berlainan satu dengan yang lain.
Dalam teori Erickson dinyatakan bahwa
manusia (anak) hidup dalam kesatuan budaya yang utuh, alam dan kehidupan
masyarakat menyediakan segala hal yang dibutuhkan manusia. Namun sesuai dengan
minat, kemampuandan latar belakang kehidupan budayanya maka berkembang
kelompok-kelompok sosial yang beranekaragam (Sunarto dan Hartono, 2005:135).
Upaya Pengembangan Hubugan Sosial Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Menurut Sunarto dan Hartono (2005:135), remaja dalam masa
mencari dan ingin menetukan jati dirinya memiliki sikap yang telalu tinggi
menilai dirinya atau sebaliknya. Mereka belum benar-benar memahami tentang
norma-norma sosial yang berlaku dimasyarakat. Kedua sikap tersebut dapat
memunculkan interaksi sosial yang kurang selaras, hal ini dikarenakan remaja
sulit menerima norma yang sesuai dengan keadaan masyarakat.
Akan timbul banyak sikap perilaku yang
berlebihan jika terdapat perbedaan norma kehidupan remaja dengan kelompok yang lain, misalnya dengan kelompok remaja
lainnya, kelompok dewasa dan kelompok anak-anak.
Penciptaan kelompok sosial remaja perlu
dikembangkan untuk memberikan rangsangan kepada mereka kea rah perilaku yang
bermanfaat dan dapat diterima khalayak (Sunarto dan Hartono, 2005:136).
Misalnya dengan memperbanyak kegiatan bakti sosial, kelompok belajar seni dan
olahraga, koperasi dan sebagainya dibawah bimbingan pendidik baik di sekolah
maupun para tokoh mayarakat agar dapat
menstimulus perkembangan sosial remaja kearah yang lebih baik.
Sekolah harus memperhatikan perkembangan
nilai pada peserta didik yang merupakan salah satu fungsi sekolah. Seperti
harapan Coleman dalam Pidarta (2009:163) yaitu sekolah memperbaiki kesehatan
mental bangsa, seperti mencegah kenakalan, obat bius, mencegah penyakit
menular, hamil muda, dan sebagainya.
Begitu juga dengan harpan Wuradji dalam
Pidarta (2009:163), dengan mengatakan sekolah sebagai control sosial, yaitu
untuk memperbaiki kebiasaan-kebiasaan jelek pada anak-anak kala di rumah maupun
di masyarakat, sekolah sebagai pengubah sosial yaitu untuk menyeleksi
nilai-nilai menghasilkan warga Negara yang baik dan menciptakan ilmu serta
teknologi baru.
Dalam hal ini sosiologi menunjukkan
pentingnya aktivitas kegiatan sosialisasi anak dalam pendidikan dengan memberi
bantuan dalam usaha menganalisis proses sosialisasi anak seperti konsep tentang
interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, bentuk interaksi sosial dan dengan
adanya dukungan dari masyarakat terhadap pendidikan maka nilai-nilai yang ada
dimasyarakat serta keharusan sekolah untuk mengembangkan aspek itu pada diri
anak-anak (Pidarta, 2009:164).
Kesimpulan
Perilaku manusia berkaitan dengan nilai. Pendidikan yang
diinginkan oleh sosiologi adlah pendidikan yang dapat mempertahankan dan
meningkatkan keserasian hidup dlam pergaulan kehidupan manusia. Maka dari itu
dibutuhkan sosiologi dalam mencapai cita-cita pendidikan.
Hubungan sosial dimulai dari tingkat yang
sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin
dewasa dan bertambahnya usia seseorang, maka kebutuhan dan tingkat hubungan
sosial pun semakin kompleks. Saat masih bayi manusia berinteraksi sebatas n
kebutuhannya, terus hingga tingkat remaja kebutuhan dan hubungan sosial akan
terus bertambah. Seorang remaja tidak hanya memerlukan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan pribadinya, namun memiliki pengertian perkembangan sosial
adalah proses perkembangan tingkat hubungan sesama manusia berhubungan dengan
peningkatan kebutuhan hidup.
Daftar Pustaka
Kadir, A.,
dkk. (2012). Dasar-dasar pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Budiningsih,
C. A. (2004). Belajar dan pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta
Sagala, S.
(2006). Konsep dan makna pembelajaran.
Bandung: Alfabeta
Sunarto.,
dan Hartono, B. A. (2005). Perkembangan
Peserta didik. Jakarta: Rineka Cipta
Pidarta,
M. (2009). Landasan kependidikan.
Jakarta: Rineka Cipta
0 komentar:
Posting Komentar