Selasa, 10 Desember 2013

Tinjauan Sosial Terhadap Peserta Didik

Diposting oleh Unknown di 19.06

Pendahuluan
       Pendidikan berarti menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh pembandingan dengan penciptaan yang lain. Pendidikan sebagai penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual, moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong indivividu tersebut (Piaget dalam Sagala, 2006:1).
       Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan adalah pelajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (Sagala, 2006:1).
       Pendidikan juga dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada.
       Pendidikan memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku anak, dapat menempatkan diri dalam situasi anak dan melihat dari sudut pandang anak. Dalam suasana ini anak akan merasa aman untuk mengungkapkan bakatnya (Sunarto dan Hartono, 2005:125).
       Didalam pendidikan terdapat hubungan sosial yang berupa hubungan timbal balik antara peserta didik dan guru, yaitu proses dimana pendidik memberikan informasi kepada peserta didik, dan sebaliknya seorang pendidik juga bias mendapatkan informasi dari peserta didiknya yang terjadi dalam proses pembelajaran.
       Kehidupan anak dalam menelusuri perkembangannya itu pada dasarnya merupakan kemampuan mereka berinteraksi dengan lingkungan. Pada Proses integrasi dan interaksi ini faktor  intelektual dan emosional mengambil peranan penting. Proses tersebut merupakan proses sosialisasi yang mendudukkan anak-anak sebagai insan yang secara aktif melakukan proses sosialisasi (Sunarto dan Hartono, 2005:126).
       Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, manusia senantiasa berhubungan dengan sesama manusia, artinya manusia membutuhkan manusia yang lain untuk dapat hidup, maka dari itu manusia disebut juga sebagai makhluk sosial. Dimana lingkungan tersebut terbagi menjadi lingkungan fisik dan lingkungan sosial, dalam hal ini lingkungan sosial sangat berpegaruh penting dalam perkembangan manusia itu sendiri.
       Bersosialisasi pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan kehidupan sosial, bagaimana seharusnya seseorang hidup didaam kelompoknya, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok masyarakat luas (Sunarto dan Hartono, 2005:126).
       Dalam tulisan ini akan dibahas tentang bagaimana pandangan sosiologi terhadap peserta didik.

Pandangan Sosiologi terhadap Peserta Didik
       Menurut Pidarta dalam Kadir, dkk (2012:99), Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Jadi sosiologi mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompokknya dan bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain (Kadir, dkk,. 2012:99).
       Menurut Kadir, dkk (2012:100), Pendidikan yang diinginkan oleh aliran kemasyarakatan ini ialah proses pendidikan yang bias mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Sosiologi sangat dibutuhkan dalam mewujudkan cita-cita pendidikan, melalui konsep dan teori sosiologi tentang bagaimana seharusnya para guru dapat membina para peserta didik agar peserta didik bias memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat dan akrab dengan sesama peserta didik lainnya.
       Peserta didik adalah manusia yang identitas insaninya sebagai subjek berkesadaran perlu dibela dan ditegakkan lewat sistem dan model pendidikan yang bersifat bebas dan egaliter (Budiningsih, 2004:5).
       Manusia adalah makhluk yang dapat dipandang dari berbagai sudut pandang, sebagaiman dikenal adanya manusia sebagai makhluk yang berpikir atau homo sapiens, makhluk yang berbentuk homo faber, makhluk yang dapat dididik atau homo educatunum dan lain sebagainya.
       Kini bangsa Indonesia telah menganut suatu pandangan, bahwa yang dimaksud manusia secara utuh adalah manusia sebagai pribadi yang merupakan pengejawantahan manunggal-nya berbagai ciri atau karakter hakiki atau sifat kodrati manusia yang seimbang antar berbagai segi, yaitu antara segi individu dan sosial, jasmani dan rohani, dan dunia dan akhirat (Sunarto dan Hartono, 2005:2).
       Seimbangya hubungan-hubungan tersebut mendeskripsikan selarasnya hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan lingkungan alamnya, dan manusia dengan Sang Pencipta.
       Manusia pada dasarnya sebagai makhluk individu yang tidak dapat dipisahkan, keberadaannya sebgai makhluk yang pilah, tunggal, dank has. Seseorang berbeda dengan orang lain karena ciri-cirinya yang khusus itu (Webster’s dalam Sunarto dan Hartono, 2005:2).
       Kedudukan manusia sebagai peserta didik, seyogyanya ditempatkan sebagai pribadi yang utuh. Hal ini berkaitan dengan kepentingan pendidikan, akan lebih ditekankan pada hakikat manusia sebagai kesatuan sifat makhluk individu dan makhlu sosial, sebagai kesatuan jasmani dan rohani, dan sebagai makhluk Tuhan dengan menempatkan hidupnya di dunia sebagai persiapan kehidupannya di akhirat.
       Maka dapat dibentuk suatu lingkungan untuk anak yang dapat merangsang perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya dan akan membawa perubahan-perubahan apa saja yang diinginkan dalam kebiasaan dan sikap-sikapnya (Sunarto dan Hartono, 2005:3). Dalam hal ini anak dibantu oleh guru, orang tua, dan orang-orang dewasa lainnya untuk memanfaatkan kapasitas dan potensi yang dibawanya agar pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan dapat tercapai.
       Interaksi seseorang dengan manusia lainnya berawal ketika bayi dilahirkan dengan cara yang sangat sederhana. Sepanjang kehidupannya pola aktivitas sosial anak mulai terbentuk. Menurut Piaget dalam Sunarto dan Hartono (2005:127), interaksi sosial anak pada tahun pertama sangat terbatas, terutama hanya dengan ibunya. Perilaku sosial anak tersebut berpusat pada akunya atau egocentric dan hamper keseluruhan perilakunya berpusat pada dirinya.
       Bayi belum banyak memperhatikan lingkungannya, dengan demikian apabila kebutuhan dirinya telah terpenuhi maka bayi tersebut tidak akan peduli lagi dengan lingkungannya, sisa waktu hidupnya digunakan untuk tidur. Pada tahun berikutnya, seorang anak sudah belajar kata tidak dan sudah belajar menolak lingkungan, seperti mengatakan tidak mau dan sebagainya.
       Pada tahun ini, anak mulai bereaksi pada lingkungan secara aktif, ia telah belajar membedakan dirinya dari orang lain, perilaku emosionalnya mulai berkembang dan lebih berperan. Perkenalan dan pergaulan dengan manusia lain semakin luas, ia mengenal orang tuanya, anggota keluarganya, teman bermain yang sebaya dengannya dan teman-teman sekolahnya.
       Pada usia selanjutnya, sejak seorang anak mulai belajar disekolah, mereka mulai belajar mengembangkan interaksi sosial dengan belajar menerima pandangan masyarakat, memahami tanggung jawab, dan berbagai pengertian dengan orang lain. Artinya kebutuhan bergaul dan berhubungan dengan orang lain telah mulai dirasakan sejak anak berumur enam bulan, disaat anak itu mulai mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya.           
        Anak mulai mengenal dan mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial yang lain, seperti marah dan kasih saying. Dan pada akhirnya setiap orang menyadari bahwa manusia itu saling membutuhkan. Artinya hubungan sosial merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan.
       Remaja adalah tingkat perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa (Sunarto dan Hartono, 2005:128). Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah kompleks, interaksi sosial dan pergaulannya sudah cukup luas. Dalam beradaptasi dengan lingkungannya, remaja sudah mulai memperhatikan dan mengenal bermacam-macam norma dalam bergaul yang berbeda dengan norma bergaul yang ada dalam lingkungan keluarganya.
       Remaja akan menghadapi berbagai lingkungan, yaitu mulai memahami norma bergaul dengan kelompok remaja, anak-anak, dewasa dan orang tua. Pergaulan dengan lawan jenis pun merupakan hal yang pendting namun cukup sulit, karena selain harus memperhatikan norma pergaulan antar remaja juga harus memikirkan adanya kebutuhan dimasa depan untuk memilih teman hidup.
       Kehidupan sosial remaja ditandai oleh fungsi intelektual dan emosional yang menonjol, artinya pada jenjang ini seorang anak sudah dapat mengalami krisis identitas seperti yang diungkapkan Erickson dalam Sunarto dan Hartono (2005:129). Dalam prosesnya pembentukkan konsep diri anak terbentuk dari rasa percaya seorang anak terhadap keberadaan dirinya sendiri dan rasa kepercayaan orang lain terhadap keberadaan dirinya.
       Erickson dalam Sunarto dan Hartono (2005:129) mengemukakan bahwa perkembangan anak sampai jenjang dewasa melalui delapan tahap dan perkembangan remaja ini berada pada tahap keenam dan ketujuh, yaitu masa anak ingin menemukan jati dirinya sesuai dengan atau berdasarkan pada situasi kehidupan yang mereka alami. Dalam hal penemuan jati diri Erickson berpendapat bahwa seseorang didorong oleh pengaruh sosiokultural.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
       Sunarto dan Hartono (2005:129), mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak yaitu sebagai berikut.
1. Keluarga
       Keluarga adalah lingkungan yang pertama memberi pengaruh kepada perkembangan sosial anak. Kondisi kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Artinya kehidupan budaya seorang anak diawali dari kehidupan keluarganya karena proses mendidik perkembangan pribadi seorang anak lebih ditentukan oleh lingkungan keluarga.
2.   Kematangan
       Kematangan fisik dan psikis sengat diperlukan dalam bersosialisasi artinya dalam bersosialisasi fisik seseorang telah dapat menjalankan fungsinya dengan baik serta dalam memberi dan menerima pendapat memerlukan kematangan emosional dan intelektual. 
3.   Status Sosial dan Ekonomi
       Masyarakat akan memandang anak, bukan sebagai anak yang independen tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang utuh dalam keluarga anak tersebut. Secara tidak langsung dalam pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya akan memperhitungkan norma yang berlaku dalam keluarganya.
4.   Pendidikan
       Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normative, akan memberi warna kehidupansosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang belajar di kelembagaan pendidikan (sekolah). Etik pergaulan dan pendidikan moral diajarkan secara terprogram dengan tujuan untuk membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
5.   Kapasitas Mental: Emosi dan Intelegensi
       Kemampuan berpikir banyak mempengaruhi segala hal, anak yang berintelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu kemampuan intelektual yang tinggi, kemampuan berbahasa yang baik dan pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak.
       Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan intelektual yang tinggi.

Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku
          Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk orang tuanya. Setiap pendapat orang lain dibandingkan dengan teori yang diikuti atau diharapkan. Sikap kritis ini juga ditunjukkan dalam hal-hal yang sudah umum baginya pada masa sebelumnya, sehingga tata cara, adat istiadat yang berlaku di lingkungan keluarga sering terasa terjadi/ada pertentangan dengan sikap kritis yang tampak pada perilakunya (Sunarto dan Hartono, 2005:133).
       Situasi dimana kemampuan mempermasalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semestinya menurut alam pikirannya merupakan kemampuan absraksi yang dapat menimbulkan perasaan tidak puas atau putus asa.
       Pengaruh egosentris yang masih terlihat pada pikiran remaja (Sunarto dan Hartono, 2005:134):
1. Cita-cita dan idealisme yang baik, terlalu menitikberatkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
2. Kemampuan berpikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam penilaiannya. Masih sulit membedakan pokok perhatian orang lain daripada tujuan perhatian diri sendiri. Pandangan dan penilaian diri sendiri dianggap sama dengan pandangan orang lain mengenai dirinya.
       Pencerminan sifat egois sering menyebabkan kekakuan para remaja dalam cara berpikir maupun bertingkah laku. Persoalan yang timbul pada masa remaja adalah banyak bertalian dengan perkembangan fisik yang dirasakan mengganggu dirinya dalam bergaul, karena disangkanya orang lain sepikiran dan ikut tidak puas mengenai penampilan dirinya (Sunarto dan Hartono, 2005:134).
       Hal ini tentu akan berdampak pada gerak-geriknya yaitu adanya perasaan malu karena merasa selalu diamati oleh orang lain yang menimbulkan sikap canggung. Bahka dalam proses beradaptasi yang dilandasi oleh sifat egois dapat memunculkan reaksi yang lain seperti berlebihan dalam menilai diri sendiri yang pada akhirnya menimbulkan perilaku yang merasa hebat dan berani menantang malapetaka dan kegiatan-kegiatan yang berbahaya bagi dirinya sendiri.
       Menjelang akhir masa remaja maka sifat ego ini akan semakin berkurang dikarenakan telah melalui banayk pengalaman dan penghayatan fakta serta dalam berhadapan dengan pendapat orang lain, sehingga seorang remaja pada akhirnya dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa meremehkan pendapat dan pandangan orang tersebut.
Perbedaan Individual dalam Perkembangan Sosial
       Sesuai dengan teori komprehensif tentang perkembangan sosial yang dikembangkan oleh Erickson, maka di dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya setiap manusia menempuh langkah yang berlainan satu dengan yang lain.
       Dalam teori Erickson dinyatakan bahwa manusia (anak) hidup dalam kesatuan budaya yang utuh, alam dan kehidupan masyarakat menyediakan segala hal yang dibutuhkan manusia. Namun sesuai dengan minat, kemampuandan latar belakang kehidupan budayanya maka berkembang kelompok-kelompok sosial yang beranekaragam (Sunarto dan Hartono, 2005:135).

Upaya Pengembangan Hubugan Sosial Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
       Menurut Sunarto dan Hartono (2005:135), remaja dalam masa mencari dan ingin menetukan jati dirinya memiliki sikap yang telalu tinggi menilai dirinya atau sebaliknya. Mereka belum benar-benar memahami tentang norma-norma sosial yang berlaku dimasyarakat. Kedua sikap tersebut dapat memunculkan interaksi sosial yang kurang selaras, hal ini dikarenakan remaja sulit menerima norma yang sesuai dengan keadaan masyarakat.
       Akan timbul banyak sikap perilaku yang berlebihan jika terdapat perbedaan norma kehidupan remaja dengan kelompok  yang lain, misalnya dengan kelompok remaja lainnya, kelompok dewasa dan kelompok anak-anak.
       Penciptaan kelompok sosial remaja perlu dikembangkan untuk memberikan rangsangan kepada mereka kea rah perilaku yang bermanfaat dan dapat diterima khalayak (Sunarto dan Hartono, 2005:136). Misalnya dengan memperbanyak kegiatan bakti sosial, kelompok belajar seni dan olahraga, koperasi dan sebagainya dibawah bimbingan pendidik baik di sekolah maupun para tokoh mayarakat  agar dapat menstimulus perkembangan sosial remaja kearah yang lebih baik.
       Sekolah harus memperhatikan perkembangan nilai pada peserta didik yang merupakan salah satu fungsi sekolah. Seperti harapan Coleman dalam Pidarta (2009:163) yaitu sekolah memperbaiki kesehatan mental bangsa, seperti mencegah kenakalan, obat bius, mencegah penyakit menular, hamil muda, dan sebagainya.
       Begitu juga dengan harpan Wuradji dalam Pidarta (2009:163), dengan mengatakan sekolah sebagai control sosial, yaitu untuk memperbaiki kebiasaan-kebiasaan jelek pada anak-anak kala di rumah maupun di masyarakat, sekolah sebagai pengubah sosial yaitu untuk menyeleksi nilai-nilai menghasilkan warga Negara yang baik dan menciptakan ilmu serta teknologi baru.
       Dalam hal ini sosiologi menunjukkan pentingnya aktivitas kegiatan sosialisasi anak dalam pendidikan dengan memberi bantuan dalam usaha menganalisis proses sosialisasi anak seperti konsep tentang interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, bentuk interaksi sosial dan dengan adanya dukungan dari masyarakat terhadap pendidikan maka nilai-nilai yang ada dimasyarakat serta keharusan sekolah untuk mengembangkan aspek itu pada diri anak-anak (Pidarta, 2009:164).
  
Kesimpulan
       Perilaku manusia berkaitan dengan nilai. Pendidikan yang diinginkan oleh sosiologi adlah pendidikan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan keserasian hidup dlam pergaulan kehidupan manusia. Maka dari itu dibutuhkan sosiologi dalam mencapai cita-cita pendidikan.
       Hubungan sosial dimulai dari tingkat yang sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambahnya usia seseorang, maka kebutuhan dan tingkat hubungan sosial pun semakin kompleks. Saat masih bayi manusia berinteraksi sebatas n kebutuhannya, terus hingga tingkat remaja kebutuhan dan hubungan sosial akan terus bertambah. Seorang remaja tidak hanya memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, namun memiliki pengertian perkembangan sosial adalah proses perkembangan tingkat hubungan sesama manusia berhubungan dengan peningkatan kebutuhan hidup.
          
Daftar Pustaka
Kadir, A., dkk. (2012). Dasar-dasar pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Budiningsih, C. A. (2004). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Sagala, S. (2006). Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Sunarto., dan Hartono, B. A. (2005). Perkembangan Peserta didik. Jakarta: Rineka Cipta
Pidarta, M. (2009). Landasan kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta

0 komentar:

Posting Komentar

 

Andhina Zubir Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea